Tugas Softskill


1.
Tak Ada SKM, Bayi 'Hydrocephalus' Ditolak di RS

 








MALANG, KOMPAS.com - Tak ada biaya dan tak memiliki Surat Pernyataan Miskin (SPM), Jessica Dinda, bayi berumur 10 bulan, harus pulang ke rumahnya, di Kabupaten Malang, setelah ditolak oleh pihak Rumah Sakit dr Soetomo Surabaya, Jawa Timur.

Jessica, menderita Hydrocephalus sejak lahir. Anak dari pasangan Muchlis (30) dan Anna Amilus Sholihah (24) itu diketahui memiliki benjolan di wajah dan langsung dioperasi tak lama setelah kelahirannya. "Operasi pertama dilakukan di RSUD Kanjuruhan, Malang. Saat itu, biaya operasi pakai SPM," aku Muhklis, Rabu (24/10/2012) ditemui di rumahnya, di Jalan Madura, Dusun Lok Waru, Desa Tawangrejeni, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang.

Pascaoperasi, beberapa bulan kemudian benjolan di wajah Jessica kembali tumbuh dan terus membesar. "Saat itu, saya dan istri mulai kebingungan biaya untuk mengobati penyakit anak saya," keluhnya.

Perjuangan terus dilakukan Mukhlis dan Anna Amilus Sholihah. "Setelah saya cari informasi, bisa berobat ke RSUD Kanjuruhan lagi pakai SPM. Belum sempat berobat, SPM sudah tidak dipakai, karena dananya sudah habis," katanya.

Tak menyerah, Muhklis terus mencari informasi. "Saya mendapatkan informasi, kalau di RS dr Soetomo, Surabaya bisa pengobatan gratis," katanya.

Mukhlis dan istri lantas langsung membawa Jessica ke rumah sakit tersebut. "Setelah menjalani pemeriksaan selama sehari, pihak rumah sakit meminta anak saya disuruh pulang. Karena tidak bisa melayani pasien yang tidak memilik kartu Jamkesmas," aku Muhklis.

Setiba di RS dr Soetomo Jessica sudah menjalani pemeriksaan di poli bedah syaraf, kemudian dipindahkan ke IRD (Instalasi Rawat Darurat) dan selanjutnya dipindahkan ke ruang rawat inap. "Karena disuruh pulang, ya kami pulang," keluh Muhklis, yang setiap harinya bekerja sebagai pembuat batu bata di rumahnya.

Muhklis mengaku khawatir jika penyakit yang diderita putrinya itu, semakin parah hingga mengganggu pengelihatannya. "Sejak ada benjolan itu, anak saya seringkali kejang-kejang. Kalau mau dioperasi katanya membutuhkan biaya Rp 50 juta. Mau dapat darimana uang sebesar itu," keluhnya.

Saat ini, benjolan di wajah Jessica itu terus membesar. "Awalnya hanya diameter 8 centimeter. Sekarang sudah lebih. Karena benjolan itu terus membesar. Semoga ada orang yang peduli dengan penyakit anak saya," harapnya.

sumber
__________________________________________________________________________
2.
Uang Korupsi Kasus Al Quran Mengalir ke MKGR
Uang hasil dugaan korupsi proyek Al Quran dan laboratorium di Kementerian Agama yang didapat Dendy Prasetya diketahui mengalir ke Generasi Muda Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Gema MKGR), organisasi underbow Partai Golkar. Dendy adalah putra anggota Komisi VIII DPR Zulkarnaen Djabar yang menjadi tersangka dalam kasus itu. Hal tersebut disampaikan pengacara Dendy, Erman Umar seusai mendampingi kliennya diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (23/10/2012) malam.
Menurut Erman, kliennya mengaku menerima uang terkait proyek di Kemenag tersebut. Uang yang belum diketahui nilai pastinya itu, kata Erman, kemudian dibagi-bagikan ke teman-teman Dendy dan sebagiannya untuk membiayai kegiatan organisasi.
"Yang jelas masuk ke rekening dia, dimasukkan ke perusahaan dia, baru di distribusikan untuk masing-masing temannya dan organisasi untuk membuat acara-acara," ujar Erman, di Gedung KPK, Jakarta.
Dia mengatakan, Dendy dan rekan seorganisasinya, Fahd El Fouz atau Fahd A Rafiq berupaya meyakinkan pihak Kemenag agar memberikan proyek tersebut kepada mereka. Keduanya berinisiatif mengupayakan proyek tersebut demi menghidupkan organisasi MKGR.
"Gema MKGR ini kan sudah lama vakum, baru kemudian bangkit lagi dan terpilihlah saudara Fahd, Dendy sebagai Sekjennya. Lalu mereka bentuk seluruh Indonesia. Mau enggak mau kan mereka berpikir bahwa ini butuh biaya," ucap Erman.
Dendy dan Fahd kemudian menemui pejabat di Kemenag, yakni Sesditjen Bimas Islam Abdul Karim (sekarang mantan) dan Sesditjen Pendidikan Islam, Afandi Mochtar. Di Kemenag, nama ayah Dendy, Zulkarnaen Djabar sudah cukup dikenal. Zulkarnaen sudah lima hingga enam tahun menjadi anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat, komisi yang bermitra dengan Kemenag.
"Mereka ini bertemu di ruangan itu, kedua orang ini memanggil stafnya, baru kemudian mereka mengenalkan ke staf-stafnya," ujar Erman.
Adapun, Zulkarnaen ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus ini bersamaan dengan Dendy. Keduanya diduga menerima suap yang nilainya Rp 10 miliar lebih terkait proyek di Kemenag tersebut.
Erman melanjutkan, kliennya memang mengupayakan agar mendapatkan proyek Al Quran sekitar Rp 20 miliar dan laboratorium sekitar Rp 30 miliar di Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat Islam Kemenag. Namun, menurut Erman, Dendy yang juga Direktur Utama PT Perkasa Jaya Abadi Busantara tersebut hanya bertindak seperti broker proyek. Dia kemudian menyerahkan proyek itu kepada PT Abadhi Aksara Indonesia, milik Abdul Kadir Allaydrus.
Selama pemeriksaan di KPK, menurut Erman, kliennya ditanya bagaimana perkenalannya dengan Kadir. Erman mengatakan, Dendy pernah bertemu dengan Kadir di Kantor DPP Partai Golkar. Mereka juga bertemu di Kantor Kementerian Agama.
"Dan di Depag (Kemenag) ternyata Abdul Kadir ini pernah juga memenangkan proyek ini sebelumnya, sudah punya pengalaman," ujar Erman.
Kadir sendiri sudah beberapa kali diperiksa KPK sebagai saksi untuk Dendy atau Zulkarnaen. Erman juga mengatakan, Dendy menilai, ayahnya, Zulkarnaen, tidak bersalah dalam kasus ini. Menurut Dendy, kasus ini berawal saat dia menemukan data pembahasan proyek Kemenag tersebut di ruang kerja ayahnya. Data tersebut milik Zulkarnaen selaku anggota Komisi VIII DPR.
"Tapi dia tidak mau menyampaikan kepada bapaknya. Kemudian di-copy tanpa sepengetahuan bapaknya, data itu milik bapaknya," ungkap Erman.
"Makanya tadi si Dendy ini selalu merasa menyesal dan minta dipertemukan ke bapaknya. Tadi dipertemukan selama 10 menit," kata Erman lagi.
Sejauh ini, KPK belum menahan Dendy. Sementara Zulkarnaen, sudah lebih dulu mendekam di Rumah Tahanan Jakarta Timur Cabang KPK.

sumber
__________________________________________________________________________
3.
Gara-gara RS Dijadikan Syuting Sinetron, Bocah Perempuan Itu Meninggal



JAKARTA (VoA-Islam) – Gara-gara ruang intensif care and cititical unit (ICCU) RS Harapan Kita dijadikan untuk keperluan syuting Film Love in Paris, seorang bocah perempuan bernama Ayu Tria Desiani (9 tahun) meregang nyawa. Ayu meninggal karena pembuluh darahnya pecah.
Konyolnya, para kru film bisa bebas keluar masuk ruang ICCU yang harusnya streril. Malah, keluarga pasien yang hendak masuk ke ICCU hanya diperbolehkan masuk melalui pintu samping. Ayu Tria Desiana meninggal di ICCU RS Harapan Kita, Kamis (27/12) dini hari. Ayu menderita penyakit leukemia (kanker darah). Keluarga Ayu mempermasalahkan situasi ketika anaknya akan mendapat pengobatan karena ada syuting sinetron untuk tayang di SCTV.

Love in Paris bercerita tentang kisah cinta segi empat antara remaja Yasmin, Aqila, Reno, dan Rafa. Latar belakang syutingnya selain di Indonesia juga di Paris. Yasmin dan Reno saling jatuh cinta. Sedangkan, Aqila masih mengejar cinta Reno. Pada saat yang sama, ada Rafa, sahabat Yasmin, yang sebenarnya diam-diam menyimpan suka. Surya Cipta Televisi (SCTV) berjanji mengadakan penyelidikan internal terkait kasus tewasnya Ayu Tria Desiana (9 tahun) di lokasi syuting pembuatan sinetron Love in Paris.

Kronologis Kematian Ayu
Seperti diberitakan media massa, Rabu (26/12) sore pukul 17.30 WIB, tidak seperti biasanya Ayu Tria Desiani (9 tahun) mengeluh sakit perut.  Sudah sebulan Ayu sakit diare dan merasa sesak nafas. Orangtua Ayu, Putri Kurnianto (47 tahun) dan Roasih (37) kemudian membawa ke rumah sakit dari rumahnya di Jalan Pisangan Baru Gang Masjid.

Penyakit Ayu kambuh. Leukimia yang dideritanya sejak umur 2,5 tahun kembali menciderainya. Ini ditambah dengan diare, kemoterapi, dan obat-obatan yang harus ditenggaknya, membuatnya susah makan dan sariawan. Tubuhnya tak sanggup lagi menahannya.

Ayu dibopong dari rumah dengan keluar gang menuju taksi. Ayu merengek kesakitan pada bapaknya. "Dingin... dingin... Pak. Ayu mau pakai celana panjang.'' Ibunya lalu melapisi celana pendeknya dengan celana panjang dan menyelimutinya. Taksi melaju menuju RS Harapan Kita, Jakarta Barat.

Pukul 19.00 Ayu langsung dilarikan ke UGD. Begitu masuk di UGD, Ayu langsung dirawat. Tak lama setelah itu, dia dirujuk ke ruangan ICU lantai dua. Betapa kagetnya, saat lift terbuka, disana tampak kabel, lighting, kamera dan rol kabel yang besar dan panjang memenuhi ruangan.
Untuk masuk ke ruangan ICU, Roasih terpaksa harus menyingkirkan beberapa peralatan supaya dia bisa lewat. Sampai di ruang ICU, keterkejutannya bertambah saat melihat begitu banyak orang tanpa mengenakan baju steril keluar masuk ruang ICU.

Saat sampai di ruang ICU, pengambilan gambar atau syuting sinetron tengah berlangsung. Sinetron itu berjudul 'Love in Paris’.  Terlihat  beberapa artis yang tengah syuting sinetron di ruang ICU itu.

Pukul 01.00 WIB, Roasih panik. Ayu dikabarkan koma. Pukul 02.00, Ayu  dikabarkan sempat 'hilang'. Dokter dan suster turun memompa jantungnya dengan alat. Syukurlah, kondisi Ayu kembali stabil setelah diberi napas bantuan. Namun, kelegaan itu hanya bertahan selama sejam. Setelah itu, tepat pukul 03.00, dokter mengabarkan kematian anaknya, Ayu.

Roasih dan Kurnianto tidak menggugat apapun dari rumah sakit. Selama lima tahun berobat di RS. Harapan Kita, mereka sangat berterima kasih pada pelayanan hingga fasilitas rumah sakit itu. Mereka, seperti keluarga pasien lain hanya kecewa, kenapa justru ruangan yang steril, malah dimasuki orang-orang yang tidak berkepentingan.

Mereka juga tak berpikir bahwa kondisi Ayu bisa lebih baik jika kru-kru sinetron itu tidak menggelar syuting tepat saat anaknya masuk ICU malam itu. Hingga Ayu meninggal pun, mereka masih meneruskan syuting hingga pagi.

Ayu divonis leukimia sejak 2005. Awalnya, dia dibawa ke RS Mitra Keluarga. Disana sampel darahnya diambil, diperiksa di laboratorium Eijkman dan diputuskan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tentang penyakitnya. Leukimia ALL, sejatinya bisa diobati, resikonya pun belum begitu parah.

Namun, baru dirawat selama sepuluh hari, Kayah Ayu beralih ke pengobatan alternatif. Tak juga memperoleh hasil yang lebih baik bagi putrinya, mereka kembali ke RSCM, dari situ mereka dirujuk ke RS. Harapan Kita hingga sekarang.

Untungnya, punya Jamkesda untuk Ayu. Jika tidak, dia terpaksa harus pinjam uang kesana kemari untuk biaya pengobatan anaknya. Jamkesda membuatnya tidak membayar sepeser pun biaya rumah sakit. Desastian/RoL

sumber 
__________________________________________________________________________
4.
Polri, Ubahlah Pola Kerja dan Kinerja!

Polri, Ubahlah Pola Kerja dan Kinerja!JAKARTA, KOMPAS.com - Kepolisian diminta mengevaluasi dan mengubah pola penanganan perkara terutama cara pendekatan masyarakat. Jika tidak, maka perlawanan masyarakat terhadap Kepolisian bakal terus terjadi. 
"Tahun 2013 polisi harus mengevaluasi pola kerja dan kinerjanya," kata anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Aboe Bakar Al Habsy melalui pesan singkat, Rabu (2/1/2013). 
Hal itu dikatakan Aboe Bakar menyikapi meningkatnya pengerusakan hingga pembakaran fasilitas Polri di 2012. Sepanjang tahun 2012  
Harmansebanyak 85 fasilitas Polri dirusak dan dibakar yang terdiri dari 56 kantor polisi, 18 mobil polisi, 10 motor polisi, dan satu rumah dinas polisi. Tahun 2011, hanya 65 fasilitas Polri yang dirusak dan dibakar rakyat. Adapun tahun 2010 hanya 20 kantor polisi yang dirusak dan dibakar.
Aboe Bakar mengatakan, selain terkait penanganan masalah yang tidak tepat, Kepolisian juga kerap tidak adil dalam menangani kasus. Akibatnya, ada perlawanan dari kelompok yang dirugikan. Selain itu, kepercayaan masyarakat juga telah menipis terhadap Kepolisian.
"Seperti yang terjadi di NTB, masyarakat merusak polsek dan mengeluarkan tahanan. Ini terjadi karena masyarakat sulit percaya kepada penanganan kasus kriminal, yang akhirnya terjadi peradilan jalanan," kata Aboe Bakar.
Ketua DPP Bidang Hukum Partai Demokrat Benny K Harman mengatakan, masyarakat sangat kecewa dengan kinerja Kepolisian yang belum mampu memberikan rasa aman dan kepastian hukum. Kedepannya, pimpinan Polri harus terus melanjutkan reformasi. 

sumber 
__________________________________________________________________________
5.
KPSI vs PSSI, Penyebab Kisruhnya Sepak Bola Nasional 
 
Kisruh yang mengoyak sepak bola nasional sejatinya berawal dari keinginan untuk memperbaiki kondisi sepak bola pasca-tergulingnya rezim Nurdin Halid.  Namun, turunnya Nurdin ternyata tidak membuat keadaan lebih baik.
Elit-elit sepak bola Indonesia tetap tidak bisa bersatu seperti yang dicita-citakan bersama saat menggusur Nurdin. Kepengurusan baru yang terpilih, gagal merangkul pihak-pihak yang berseteru untuk menuju sepak bola yang lebih baik.

Gerbong reformasi sepak bola itu justru terbelah. Selain kubu PSSI - yang notebene diakui FIFA - elit sepak bola nasional lainnya membentuk federasi tandingan, Komite Penyelamat Sepak bola Indonesia (KPSI).

Pangkal masalah terbelahnya elit sepak bola nasional ini tak lain adalah soal kompetisi liga. Dua kubu itu saling mengklaim sebagai pengelola sah kompetisi sepak bola nasional. PSSI dengan Liga Primer Indonesia (IPL) dan KPSI dengan Liga Super Indonesia (LSI).

Selanjutnya, perang antara dua kubu itu makin sengit. PSSI menuduh KPSI adalah lembaga ilegal. Sebaliknya, KPSI mengklaim PSSI sudah tidak memiliki legitimasi lagi karena sebagian besar anggotanya sudah mengeluarkan mosi tidak percaya. Saling klaim dan tuding inilah yang hingga kini menjadi duri dalam dagin sepak bola nasionaal.

Berbagai upaya ditempuh untuk mendamaikan kedua kubu. Mulai pemerintah, konfederasi sepak bola Asia (AFC), hingga FIFA telah turun tangan. Namun,  permasalahan tak kunjung selesai, bahkan bisa dibilang semakin kusut.

Keadaan makin runyam saat Menteri Pemuda Olah Raga (Menpora) Andi Mallarangeng mengundurkan diri. Agung Laksono yang ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) Menpora juga gagal mencapai kata sepakat dengan kedua kubu. Hasilnya, KPSI dan PSSI menggelar kongres sendiri-sendiri.

Sepak bola Indonesia pun di ambang ketidakpastian. Padahal, pesan FIFA dan AFC sudah jelas: jika hingga 10 Desember konflik sepak bola tidak selesai, Indonesia akan dikenai sanksi. Sanksi sangat berat, keanggotaan Indonesia di FIFA akan dibekukan, yang artinya Tim Merah Putih tidak bisa mengikuti kompetisi internasional

sumber  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar